MORFOSINTAKSIS
TIPOLOGI BAHASA
Kelompok 7:
Nikolaus Rendi
Nining Prastyowati
Isnani Muflikhatin
Ajar Setiawan
Yanuarria Kukuh Perwira
UNIVERSITAS DIPONEGORO PROGRAM PASCASARJANA (PPs)
PROGRAM STUDI MAGISTER LINGUISTIK UMUM
2012
Saussure (1959) mengatakan
bahwa bahasa dan pesan yang disampaikan dapat disejajarkan dengan konsep langue
dan parole. Langue adalah tanda atau aturan yang didasarkan pada
mana setiap pembicaraan menghasilkan parole sebagai suatu pesan khusus.
Sejalan dengan konsep ini, Aitchison (1992) mengatakan bahwa bahasa memiliki
bunyi, bentuk, dan makna. Bunyi dan pola-pola bunyi dapat dipelajari melalui
ilmu fonetik dan fonologi. Prinsip bahasa yang menyangkut bentuk dapat
dipelajari melalui morfologi dan sintaksis. Sedangkan makna bahasa, makna kata
dan makna kalimat dapat dipelajari melalui kajian semantik. Oleh karena itu,
kajian terhadap suatu bahasa bisa dilakukan secara terpisah secara mikro tanpa
menghubungkannya dengan aspek luar bahasa dan secara makro yang melibatkan aspek
luar bahasa itu sendiri.
1.
Tipologi Bahasa dan Aliansi Gramatikal
Mallinson dan Blake (1981: 3)
mengungkapkan bahwa tipologi bahasa bersinonim dengan istilah taksonomi. Dalam
istilah linguistik, istilah tipologi lebih sering digunakan. Hal menarik yang dicirikan
oleh tipologi ialah adanya pengelompokkan bahasa-bahasa berdasarkan ciri khas
kata dan tata urut kalimatnya. Oleh karena itu, teori tipologi bahasa merupakan
teori yang mendasari analisis tipologi suatu bahasa tertentu. Tipologi bahasa
sebenarnya mengacu pada pengelompokkan bahasa berdasarkan ciri-ciri tertentu
yang dimiliki oleh bahasa tersebut yang dapat juga dilihat dari kata dan tata
kalimatnya. Lebih lanjut dijelaskan ada beberapa hal yang dibicarakan dalam
tipologi bahasa secara morfo-sintaksis, yaitu 1) pemarkahan Agen dan Pasien, 2)
Tata urut kata, 3) Koordinasi: reduksi konjungsi, dan 4) subordinasi; klausa
relatif. Lebih lanjut dikatakan bahwa pemarkahan Agen dan Pasien dan tata urut
kata merupakan dua buah topik yang bertautan dengan kalimat sederhana,
sedangkan koordinasi yang berupa reduksi konjungsi dan subordinasi; klausa
relatif menjadi bertautan dengan kalimat kompleks. Dengan adanya prinsip dasar
kerja tipologi bahasa yang didasarkan atas struktur kalimatnya, maka bahasa
dapat dikelompokkan menjadi bahasa yang akusatif dan bahasa yang ergatif.
Comrie (1988) dan Artawa (2004) mengungkapkan bahwa
bahasa-bahasa dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu bahasa ergatif
dan akusatif, pasif, dan aktif dan antipasif. Suatu bahasa dikatakan bertipe
ergatif apabila pasien (P) dari verba transitif diperlakukan sama atau
koreferensial dengan subyek (S) pada klausa intransitif dan berbeda dengan agen
(A) dari verba transitif. Bahasa ergatif memperlakukan P sama dengan S.
Biasanya sama-sama tidak bermarkah. Kalimat yang bertipe akusatif adalah
kalimat yang memiliki sistem dimana A sama dengan S dan perlakuan yang berbeda
dengan P. Sedangkan bahasa yang bertipe aktif adalah tipe bahasa yang
menunjukkan bahwa ada sekelompok S yang berperilaku sama dengan P dan
sekelompok S yang berperilaku sama dengan A dalam satu bahasa.
2.
Peran Semantis
Peran semantis yang dimaksud adalah peran semantis yang ada
hubungannya atau dalam tipologi bahasa dan aliansi gramatikal. Pengkajian
aliansi gramatikal pada dasarnya didasari dan dicermati melalui kajian tipologi
bahasa yang bersangkutan. Dalam hal ini, semua bahasa memiliki struktur yang
verbanya berbentuk transitif dan intransitif. Verba intransitif memerlukan
hanya satu argumen saja, sedangkan verba transitif menghendaki dua argumen atau
lebih. Perhatikan istilah-istilah argumen yang dikehendaki oleh verba
intransitif dan transitif. Istilah-istilah yang dipakai dikutip dari Comrie
(1989), sebagai berikut:
S (Subyek) = satu-satunya argumen dalam kalimat intransitif
A (Agen) = argumen agen dalam kalimat transitif
P (Pasien) = argumen pasien dalam kalimat transitif
Lebih
lanjut dikatakan bahwa S merupakan patokan dalam menentukan tipologi bahasa
yang dapat dilakukan secara morfologis dan sintaksis. Yang dimaksudkan di sini
adalah bahwa A atau P bisa diperlakukan dengan cara yang sama dengan S.
Perilaku sintaksis A atau P dipergunakan sebagai alat ukur untuk menentukan
tipe suatu bahasa. Sehingga dengan demikian dapat dijelaskan bahwa: (a) apabila
suatu bahasa memperlakukan A dan S dengan cara yang sama, maka bahasa tersebut
digolongkan sebagai bahasa yang bertipe akusatif, (b) apabila P dan S
diperlakukan dengan cara yang sama, maka bahasa tersebut digolongkan ke dalam
bahasa yang ergatif. Penentuan penggolongan bahasa ini sangat bergantung dari
perlakuan secara morfologis atau sintaksis. Sehingga dengan demikian, perbedaan
perlakuan secara morfologis dan sintaksis suatu bahasa merupakan suatu hal yang
sangat penting dalam tipologi bahasa. Kedua tipe bahasa tersebut dapat
digambarkan sebagai berikut:
Akusatif
Ergatif
P A
3.
Konstruksi Kalimat
Subordinatif
Konstruksi subordinatif adalah hubungan antara klausa-klausa
yang tidak setara. Satu klausa merupakan klausa bebas (independent clause),
dan klausa lainnya merupakan klausa terikat (dependent clause). Dengan
kata lain, dapat dikatakan bahwa keberadaan salah satu klausanya
merupakan bagian dari klausa liannya. Sebuah konstruksi kalimat subordinatif
dapat terdiri atas satu klausa utama dan satu klausa subordinatif. Perhatikan
contoh dalam bahasa Inggris berikut ini:
1) Liz prepared the food that they had
ordered
Kalimat 1) di atas terdiri atas dua klausa. Klausa utamanya
adalah Lis prepared the food. Sedangkan klausa that they had ordered merupakan
klausa subordinatifnya. Konstruksi kalimat subordinatif dapat ditandai dengan
kehadiran konjungsi subordinatif sepeerti that ‘bahwa’, after ‘setelah’,
before ‘sebelum’, because ‘karena’ atau ‘sebab’, while ‘sementara’,
dan sejenisnya. Dengan demikian, klausa yang mempunyai konjungsi subordinatif
itu berfungsi sebagai klausa subordinatif dan klausa yang tidak berkonjungsi
berfungsi sebagai klausa utama.
Seperti halya konstruksi koordinatif, dalam konstruksi
subordnatif juga didapati dua klausa yang berderet berdampingan dengan tidak
memakai konjungsi secara formatif, dan hubungan dipahami sebagai hubungan
subordinatif seperti contoh berikut ini:
2) Having finished
breakfast, we went for a walk
3) After we had
finished breakfast, we went for a walk.
Kalimat 2) di atas mempunyai dua klausa yang berderet
berdampingan tanpa memakai konjungsi secara formatif. Kalimat tersebut dapat
dipahami maknanya sebagai kalimat. Sedangkan kalimat 3) berupa kalimat
berkonstruksi suborbinatif dengan konjungsi “after”. Kalimat tanpa
konjungsi secara formatif ini dalam bahasa Inggris lazim disebut kalimat yang
berkonstruksi participial.
4.
Tipologi Bahasa Kalimat Subordinatif
Dalam bahasa Indonesia, kalimat subordinatif
dibangun dengan konjungsi yang dapat berbentuk antara lain: karena, sebab,
jika, hanya jika, meskipun, walaupun, bahwa, agar, dan sebagainya. Berbicara
mengenai tipologi bahasa Indonesia, ada baiknya terlebih dahulu melihat
tipologi bahasa yang ada, yaitu: tipologi akusatif, aktif, pasif, ergatif dan
antipasif. Tidak ada satu bahasa pun yang memiliki satu tipologi tertentu,
apakah bahasa tersebut ergatif saja, akusatif saja, dan bahkan pasif saja.
Berdasarkan hal ini pula, dapat dikatakan bahwa bahasa Indonesia memiliki semua
tipologi bahasa yang dapat dikelompokkan dan dianalisis sebagai berikut dengan
contohnya masing-masing:
4.1.Kalimat Ergatif dan
Akusatif
Seperti dikatakan oleh Comrie (1988) dan
Artawa (2004) bahwa kalimat yang bertipe ergatif bisa dilihat dari sudut
pandang morfologi dan sintaksis, dan khusus penganalisisan kalimat ergatif
secara diskursus bisa dilihat secara terperinci dalam Verhaar (2006). Kalimat
ergatif secara morfologis adalah apabila komplemen Subyek (S) verba intransitif
dimarkahi dengan cara yang sama dengan Pasien (P) verba transitif, dan berbeda
dari komplemen Agen (A) verba transitif. Dan secara sintaksis dikatakan bahwa
kalimat memiliki kaedah sintaksis yang memperlakukan S sama dengan P, dan
berbeda dari A. Perhatikan contoh kalimat subordinatif bahasa Indonesia berikut
ini:
1) Ahmad menjadi
sangat sedih sebab Ibu memarahinya di depan umum
(ERG 1-
rekonstruksi)
2) Dia jatuh karena
terantuk (ERG 2 - Verhaar, 2006: 284)
3) Makanan terlalu
basah akan membasahi bulu anak itik sampai menggumpal dan menjadi
jarang (ERG 3 - Verhaar, 2006: 284)
Kalimat 1) sampai 3) merupakan kalimat yang
bertipologi ergatif. Pada kalimat 1) Subyek ‘Ahmad’ diperlakukan sama dengan
Pasien ‘nya; pada kalimat 2) ‘Dia’ dimarkahi sama dengan (dia) tetapi disimbolkan
dengan θ atau dilesapkan; Kalimat 3) Pasien ‘bulu anak itik’ yang diperlakukan
sama dengan Subyek klausa subordinatif dilesapkan. Dilihat dari hubungan antara
kedua klausa dalam kalimat koordinatif, dapat dijelaskan bahwa kalimat 1) dan
2) merupakan kalaimat kompleks dengan konjungsi kausatif yang direalisasikan
dengan ‘karena’, dimana klausa inti ‘Ahmad menjadi sangat sedih’ merupakan efek
dari klausa subordinatif yang dianggap sebagai penyebab kejadian. Oleh karena
itu, hubungan kedua klausa itu menyebabkan munculnya kalimat yang kausatif.
Sementara itu, dalam 3), klausa inti dihubungkan dengan konjungsi ‘sampai’,
sehingga hubungan ini menunjukkan bahwa terdapat kejadian yang diimplikasikan
dari kejadian sebelumnya yang direalisasikan oleh klausa sebelumnya. Oleh
karena itu, hubungan tipologi ergatif ini merupakan hubungan yang resultatif.
Sementara itu, kalimat yang bertipe akusatif
adalah kalimat yang menggunakan simbol S, A, P (P yang menurut Dixon, 1979
termasuk di dalamnya adalah O). Artinya, dapat dianggap bahwa P itu mengandung
peran semantis O di dalamnya. Dalam hal ini, akusatif terjadi apabila S
diperlakukan sama dengan A, tetapi berbeda dengan P. Perhatikan contoh kalimat
subordinatif bahasa Indonesia berikut ini:
4) Sri langsung
pulang setelah menyelesaikan tugas (AKU 1 - rekonstruksi)
5) Sesudah mempertimbangkan
segala hal, kita harus mengalah (AKU 2 -Verhaar, 2006: 277)
6) Anda harus
berusaha dengan sungguh-sungguh agar dapat berhasil dengan baik (AKU 3 -
Alwi, dkk, 1998)
Kalimat 4) sampai 6) merupakan kalimat yang akusatif, dimana
S pada klausa inti diperlukan sama dengan A pada klausa subordinatif yang
ditandai dengan Ø. Hubungan kedua klausa ini merupakan hubungan resultatif yang
ditandai dengan konjungsi ‘setelah’, ‘sesudah’, dan ‘agar’. Dikatakan
resultatif karena kejadian pada klausa inti merupakan implikasi dari klausa
subordinatif.
3.1.2 Kalimat Pasif
dan Ergatif
Kalimat ergatif telah dijelaskan di atas,
namun sangat berbeda dengan kalimat pasif. Berikut disarikan beberapa parameter
yang dapat membedakan tipologi kalimat ergatif dan kalimat pasif seperti yang
diungkapkan oleh Artawa (2004):
a) Pasif dan ergatif
sama-sama melibatkan paling tidak properti S sama dengan P daripada A.
b) Pasif dan ergatif
berbeda dalam hal bahwa ergatif secara tipologis melibatkan integrasi yang
lebih besar dari frasa Agen ke dalam sintaksis klausa
c) Pasif dan ergatif
berbeda dalam hal pemarkahan. Kalau pasif itu merupakan kalimat yang
berkonstruksi kalimat bermarkah, sedangkan konstruksi ergatif konstruksi tak
bermarkah.
Perhatikan contoh kalimat subordinatif pasif berikut ini:
7) Pemindahan dilakukan
sewaktu kecambah masih pendek (PAS 1 - Verhaar, 2006: 283)
8) Dia merasa
capek karena sering ditugaskan ke luar daerah (PAS 2 -
rekonstruksi)
9) Mereka bahkan
disiksa sampai meninggal (PAS 3 - Dhammannanda, 2005: 117)
Kalimat 7) sampai 9) merupakan kalimat pasif karena salah
satu verba dimarkahi secara morfologis dengan penambahan prefik di-. Kalimat 7)
merupakan kalimat yang resultatif sama dengan kalimat 9) yang merupakan
resultatif juga. Pada 7) klausa inti merupakan implikasi dari klausa
subordinatif, demikian juga dengan 9) dimana klausa subordinatif meninggal
merupkan implikasi dari klausa inti disiksa. Sementara klaimat 8) merupakan
hubungan yang kausati dimana kejadian pada klausa inti merasa capek merupakan
efek dari atau disebabkan oleh kejadian klausa subordinatif, yaitu sering
ditugaskan ke luar daerah.
3.1.3 Kalimat Aktif
dan Antipasif
Kalimat aktif merupakan konstruksi dasar
dari konstruksi akusatif, sementara kalimat antipasif merupakan konstruksi
turunan dari kalimat ergatif. Dalam konstruksi antipasif diberlakukan bahwa
Pasien dalam konstruksi transitif dapat dilesapkan atau dihilangkan dari sebuah
klausa. Dalam hal ini, aktif dan antipasif sama dalam hal bahwa Agen memiliki
properti Subyek. Disamping itu, Antipasif bisa digunakan untuk membuat kalimat
yang ditransitif. Perhatikan contoh kalimat subordinatif bahasa Indonesia
berikut ini:
10) Tiyang tetap
punya keyakinan bahwa tiyang akan bisa menggapai cita-cita
menjadi PNS (ANPAS/AKT 1 - Tokoh, 10/02/08: hal 1)
Kalimat 10) merupakan kalimat kompleks yang
terdiri atas dua klausa, dimana klausa pertama merupakan antipasif (tidak bisa
dipasifkan), dan klausa kedua merupakan klausa aktif yang statif. Dikatakan
statif karena kejadian pada klausa inti “tetap punya keyakinan…” bukan
merupakan implikasi dari klausa subordinatif yang ditandai dengan konjungsi
bahwa.
11) Polda
Jabar belum memutuskan untuk mengijinkan stadion Si Jalak Harupat
Bandung meskipun telah melakukan pertemuan secara khusus (AKT 2 - Bali
Post minggu 10/2/08 hal 1)
12) Sesudah menyelesaikan
tugas, Sri langsung pulang (AKT/ANPAS 3 -rekonstruksi)
13) Sesudah mempertimbangkan
segala hal, kita harus mengalah (AKT/ANPAS 4 - Verhaar, 2006: 277)
14) Susunan
dan komposisi makanan pokok harus ada agar memenuhi syarat
kesehatan dan gizi (ANPAS/AKT 5 - Verhaar, 2006: 284)
15) Ibu memarahiku
sewaktu aku makan banyak semangka tanpa henti (AKT/ANPAS 6 -
rekonstruksi)
16) Bapak menanam
padi di sawah sewaktu ular mengejarnya (AKT 7 -rekonstruksi)
17) Bayu membenturkan
kepala ke tembok ketika ayah memarahinya (AKT 8 - rekonstruksi)
Kejadian pada klausa inti pada kalimat 11)
sampai dengan 17) merupakan implikasi dari klausa subordinatif yang dimarkahi
oleh konjungsi ‘meskipun’ pada kalimat 11), ‘sesudah’ pada kalimat 12) dan 13),
‘agar’ pada kalimat 14), ‘sewaktu’ pada kalimat 15) dan 16), dan konjungsi
‘ketika’ pada kalimat 17).
18) Karena saya
tidak menyadari hal itu, saya meninggalkan rumah (AKT 9 - Verhaar,
2006: 279)
19) Daun kantil umumnya
berwarna hijau, karena mengandung zat warna hijau (ANPAS/AKT 10 -
Verhaar, 2006: 283)
20) Karena Sri
pulang, dia tidak dapat menghadiri rapat (ANPAS/AKT 11 - Verhaar:
2006: 277)
21) Karena dia
merasa optimis, Charles meramalkan sukses (ANPAS/AKT 12 - Verhaar,
2006: 279)
22) Ibu mencubit aku
karena aku minum tuak (AKT13 - rekonstruksi)
Sementara itu, kalimat 18) sampai 22)
merupakan kalimat yang kausatif. Dikatakan kausatif karena kejadian pada klausa
inti merupakan efek atau dampak yang disebabkan oleh kejadian klausa
subordinatif yang dimarkahi dengan konjungsi ‘karena’.
3.2 Perubahan
morfologis, Perubahan Argumen, dan Perilaku Koreferensial Kalimat Subordinatif
Gabungan beberapa klausa yang berupa kalimat
subordinatif, apabila dilihat dari segi struktur lahirnya, maka akan terjadi
beberpa kemungkinan. Salah satunya adalah pelesapan. Hal ini terjadi karena
perubahan morfologi yang terjadi terutama ditandai dengan pemarkahan. Perubahan
morfologi pada verba itu biasanya dimarkahi dengan penambahan unit-unit
sintaksis yang berupa sufik, prefiks, ataupun konfiks. Oleh karena itu,
perubahan tersebut akan berdampak pada pemaknaan verbanya. Dengan berubahnya
makna karena perubahan morfologi itu, maka mempengaruhi pula argumen verba
kalimatnya. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa beban semantik bahasa
Indonesia mempengaruhi beban sintaksis gramatikal bahasa tersebut. Berdasarkan
penjelasan ini, perilaku koreferensial argumen kalimat tersebut kemungkinan
besar akan dilesapkan yang disebabkan oleh adanya perubahan tersebut. Lebih
lanjut dapat dikatakan bahwa sistem koreferensial atau argumen yang sama dari
klausa pembentuk kalimat subordinatif dengan jelas dapat dianalisis.
Sistem koreferensial mengacu pada perilaku
argumen yang sama, baik secara eksplisit maupun secara implisit. Secara
eksplisit berarti bahwa kekoreferensialan argumen dari salah satu klausa
kalimat kompleks dimunculkan dalam kalimat tersebut. Dengan kata lain, tidak terjadi
pelesapan argumen pada klausa kalimat kompleks tersebut. Sebaliknya, secara
implisit artinya bahwa kekoreferensialan argumen dapat dimengerti dengan
melakukan uji struktur batin kalimatnya. Dengan kata lain, dapat dikatakan
bahwa terjadi pelesapan argumen pada salah satu klausa klaimat kompleks
tersebut. secara morfologis.
keberadaan bentuk morfologis verba atau
predikat klausa inti ada yang mengalami perubahan dan ada yang tidak. Verba
yang tidak mengalami perubahan yang dimaksud adalah verba dasar yang memiliki
makna tertentu, sementara verba yang bermarkah secara morfologis mengalami
perubahan. Beban semantik yang dilihat dari makna verba tersebut menentukan
jumlah argumen inti setiap klausa, baik klausa inti maupun klausa
subordinatifnya. Keberadaan sintaksis klausa inti memiliki hubungan atau relasi
dengan klausa subordinatif yang didasarkan sepenuhnya dari makna verba dan
keberadaan konjungsi. Kemudian, hubungan antara kedua klausa itu bisa dilihat
secara anafora dan katafora. Yang dimaksud dengan anafora adalah keberadaan
argumen dengan peran semantisnya berhubungan lurus ke depan ke klausa
berikutnya yang ditandai pula dengan penggunaan atau kemunculan argumennya.
Perhatikan bebrapa contoh kalimat subordinatif bahasa Indonesia berikut ini yang
dikemas dalam bentuk gabungan dua klausa.
3.2.1 Pola Gabungan
Klausa Intransitif dan Intransitif
Seperti diketahui bahwa argumen yang muncul
pada klausa intransitif adalah Subyek (S) saja. Oleh karena itu, gabungan
klausa intransitif dengan klausa intransitif akan memunculkan 2 argumen Subyek
yang sama. Sehinga dengan demikian, kekoreferensialan argumen dapat dikatakan
bahwa S = S. Artinya Subyek dari klausa intransitif pertama sama dengan atau
koreferensial dengan Subyek klausa kedua. Dalam hal ini hanya ada satu
kemungkinan koreferensial. Perhatikan contoh kalimat subordinatif bahasa
Indonesia berikut ini:
23) Kita(S)
berkata bahwa kita (S) merasa lebih baik (Dhammananda, 2005:3)
24) Ibu Siti (S)
pulang karena dia (S) sakit (rekonstruksi)
25) Indra (S)
menangis karena dia (S) bahagia (Rekonstruksi)
26) Paman saya yang
tinggal di Bogor meninggal kemarin (Alwi, dkk, 1998)
3.2.2 Pola Gabungan
Klausa Intransitif dan Transitif
Seperti diketahui bahwa argumen yang muncul
pada klausa intransitif adalah Subyek (S) saja. Pada kalimat atau klausa
transitif dimunculkan dua buah argumen inti, yaitu Agen (A) dan Pasien (P) Oleh
karena itu, gabungan klausa intransitif dengan klausa transitif akan
memunculkan beberapa kemungkinan pola koreferensial, yaitu: S pada kalimat
intransitif diberlakukan sama dengan A dan P pada kalimat transitif.. Sehinga
dengan demikian, kemungkinan kekoreferensialan argumen yang didapat adalah
berupa: S = A, S = P. Artinya Subyek dari klausa intransitif pertama sama
dengan atau koreferensial dengan Agen atau Pasien klausa kedua.
27) Salsa (S)
tidak bersedih walaupun Ø (A) telah memukul anjing itu
(Rekonstruksi)
28) Jika anda
(S) hidup dengan damai, maka anda (A) membuat dunia ini lebih
berharga (Dhammananda, 2005: 18)
29) Pak David (S)
bersedih karena Pak Lurah mengusirnya (P) (Rekonstruksi)
30) Mereka (S)
bisa tetap bergembira saat Ø (P) mendapat kesusahan (Dhammananda,
2005: 121)
3.2.3 Pola Gabungan
Klausa Transitif dan Intransitif
Seperti diketahui bahwa argumen yang muncul
pada klausa transitif adalah Agen (A) dan Pasien (P) atau muingkin juga Obyek
(O). Sedangkan satu argumen inti berupa Subyek (S) merupakan satau-satunya
argumen yang muncul pada kalimat intransitif. Oleh karena itu, gabungan klausa
transitif dengan klausa intransitif akan memunculkan beberapa kemungkinan
pemolaan akan kedua klausa gabungan tersebut, yaitu A = S, dan P = S.
31) Aku (A)
minum kopi karena Ø (S) ngantuk (Rekonstruksi)
32) Walaupun anjingnya
(P) diracuni, Pak Anton (S) tetap tabah (Rekonstruksi)
33) Nenek (A)
membaca komik ketika Ø (S) ada di rumah (Chaer, Abdul, 2003)
3.2.4 Pola Gabungan
Klausa Transitif dan Transitif
Seperti diketahui bahwa argumen yang muncul
pada klausa transitif adalah Agen (A) dan Pasien (P) . Oleh karena itu,
gabungan klausa transitif dengan klausa transitif akan memunculkan 2 argumen
Agen dan Pasien yang sama. Sehinga dengan demikian, kekoreferensialan argumen
dapat terjadi dengan beberapa kemungkinan, yaitu, A = A yang artinya adalah
Agen dari klausa transitif pertama sama dengan atau koreferensial dengan Agen
klausa kedua; A = P artinya bahwa Agen klausa pertama sama dengan atau
koreferensia dengan Pasien klausa kedua; dan P = A artinya bahwa Pasien klausa
pertama sama dengan atau koreferensial dengan Agen klausa kedua
34) Ayrin (A)
makan batagor dengan lahap ketika dia (A) menyelesaikan tugas
pokok (Rekonstruksi)
35) Sebelum kita
(A) mengambil keputusan, kita (A) jangan bertindak (Alwi, dkk, 1998)
36) Andaikan Saya
(A) memperoleh kesempatan, Saya (A) akan mengerjakan pekerjaan itu
sebaik-baiknya (Alwi, dkk, 1998)
Disamping itu, kalimat subordinatif bahasa Indonesia memiliki
pula tipologi yang berbeda. Pola yang dimaksud adalah pola yang bersifat
turunan, dimana terdapat lebih dari dua klausa dalam satu kalimat kompleks.
Pola tersebut adalah sebagai berikut:
1) Pola A1 = S2 = P3
37) Kita (A)
membuat masalah luar biasa karena kita (S) tidak pernah mengira bahwa
beberapa kejadian yang tidak terjadi pada kita (P) adalah alamiah
(Dhammananda, 2005: 3)
2) Pola A1 = P2 = A3
38) Saya (A)
memahami keadaannya (P) sebagaimana dia (A) memahami diriku
(P) (Alwi, dkk, 1998)
3) Pola A1 = A2 = S3
39)Apabila si
dokter mengharuskan kita (A) menjalankan operasi, kita (A) akan
menerima fakta bahwa kita (S) harus lebih menderita jika memutuskan
untuk menghadapi masalah baru (Dhammananda, 2005: 2)
4) Pola S1 = A2 = S3
40) Ketika kita
(S) sakit kepala, kita (A) akan meminum obat pereda sakit sehingga
kita (S) merasa lebih baik untuk beberapa saat (Dhammananda, 2005:
3)
5) Pola S1 = A2
& S3 = A4
41) Anton (S)
tidak tampak gelisah setelah Ø (A) mencontek, seolah-olah dia
(S) mampu Ø (A) mengerjakan soal-soal itu (Cahyono, Bambang Yudi,
1995)
4. Kesimpulan
Dari pemeriksaan dan
deskripsi singkat tentang data kalimat bahasa Indonesia yang subordinatif,
dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1) Bahasa Indonesia
tidak tergolong dan termasuk ke dalam salah satu tipologi bahasa . Dalam bahasa
Indonesia, terdapat semua tipologi bahasa, yaitu akusatif, aktif, pasif,
ergatif, dan antipasif.
2) Perubahan
morfologis verba suatu klausa dapat mempengaruhi argumen inti klausa yang
lainnya. Dalam hal aliansi gramatikal kalimat subordinatif bahasa Indonesia
dapat berupa pelesapan atau zero (Ø), pronominal dan frasa nomina
3) Sistem koreferensial
dasar kalimat bahasa Indonesia adalah berupa S =P dimana A berbeda, dan S = A
dimana P berbeda. Ada beberapa pola turunan yang bergantung banyak penggabungan
dan alternatif variasi penggabungan klausa intransitif dan transitif.
DAFTAR
PUSTAKA
Ackerman, F & Webelhuth, G. 1998. A Theory of
Predicates. Standford, California: CSLI Publications
Aitchison, J. 1992. Teach Yourself Linguistics.
London: Hodder & Stoughton
Alwi, Hasan, dkk. 1998. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Artawa, Ketut. 2004. Balinese Language: A Typological
Description. Denpasar: CV Bali Media Adhikarsa
Cahyono, Bambang Yudi. 1995. Kristal-Kristal Ilmu Bahasa.
Jakarta: Rineka
Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: PT
Rineka Cipta
Comrie, Bernard. 1989. Language Universals and Linguistic
Typology. Great BritainBilling & Sons Ltd.
Dhammananda, Dr. K.Sri. 2005. You & Your Problems
(Anda dan Permasalahan Anda). Bogor: Vipassana Giri Ratana
Manning D. C. 1991. Argument
Structure and Grammatical Relations. California:
CSLI
Publications
Sell Peter. 1985. Lectures Notes on Contemporary Syntactic
Theories: an Introduction to Government – Binding Theory, Generalized Phrase
Structure Grammar, and Lexical Functional Grammar. United States: CSLI
Sudaryanto. 1983. Predikat-Objek dalam Bahasa Indonesia.
Keselarasan Pola-Urutan. Yogyakarat: DJAMBATAN
________. 1993. Metode dan Teknik Analisis Bahasa.
Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguitis. Yogyakarta: Duta
Wacana University Press
Van
Valin, R..D, and LaPolla R.J. 1997. Syntax: Structure, Meaning and Function.
Cambridge: Cambridge University Press.
Verhaar, J.
2006. Dasar-Dasar Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University.